VRP–3F dan VRLM: Sintesis Reflective Pedagogy dalam Pendidikan Nilai

Definisi Operasional

Value–Reflective Pedagogy (VRP–3F) merupakan suatu pendekatan pedagogis yang berorientasi pada pembentukan manusia reflektif–nilai, yaitu individu yang mampu mengintegrasikan kesadaran emosional (feel), pemikiran rasional (find), dan tindakan praksis (flow) secara sinergis dan berkelanjutan. Pendekatan ini menempatkan nilai sebagai fondasi pendidikan dan refleksi sebagai mekanisme utama untuk menumbuhkan kesadaran, pemaknaan, dan internalisasi nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Melalui hubungan spiral antara feel–find–flow, VRP–3F mendorong peserta didik untuk tidak hanya memahami nilai secara kognitif, tetapi juga menghidupi dan mengekspresikannya secara autentik dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, VRP–3F berfungsi sebagai paradigma pedagogis yang menumbuhkan refleksi kritis, empati moral, dan komitmen etis dalam proses pembelajaran.

Sementara itu, Value–Reflective Learning Model (VRLM) merupakan turunan operasional dari pendekatan VRP–3F yang diterjemahkan ke dalam kerangka kerja pembelajaran sistematis. VRLM dirancang sebagai model pembelajaran berbasis nilai dan refleksi (value-based reflection) yang memfasilitasi peserta didik dalam proses penemuan, pemaknaan, dan penghayatan nilai secara bertahap dan mendalam. Model ini terdiri atas tujuh tahapan sintaksis pembelajaran, yaitu: (1) orientasi nilai (value orientation), (2) eksplorasi realitas (reality exploration), (3) refleksi nilai (value reflection), (4) konstruksi makna nilai (value meaning construction), (5) apresiasi nilai (value appreciation), (6) aktualisasi nilai (value enactment), dan (7) rekonstruksi nilai (value reconstruction). Melalui ketujuh tahapan ini, VRLM mengintegrasikan dimensi kognitif, afektif, dan konatif dalam pengalaman belajar yang reflektif, sehingga pembelajaran tidak berhenti pada transfer pengetahuan, tetapi menjadi proses transformasi diri yang berakar pada nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan.

Value–Reflective Pedagogy (VRP–3F) merupakan pendekatan pedagogis yang menempatkan nilai dan refleksi sebagai dua pilar utama pembentukan keutuhan pribadi peserta didik. Pendekatan ini berakar pada keyakinan bahwa pendidikan nilai bukan sekadar transmisi moral atau ajaran etika, melainkan proses kesadaran diri yang tumbuh melalui refleksi mendalam terhadap pengalaman hidup, interaksi sosial, dan tanggung jawab kemanusiaan. VRP–3F mengintegrasikan tiga dimensi reflektif yang saling berkelindan secara spiral—Feel (emosional–empatik), Find (rasional–kognitif), dan Flow (praksis–konatif)—sebagai struktur kesadaran yang membimbing peserta didik dari pemahaman menuju penghayatan, dan dari penghayatan menuju tindakan etis yang nyata.

Pendekatan pendidikan berbasis nilai–refleksi (VRP–3F) dan model operasionalnya, Value–Reflective Learning Model (VRLM), merupakan hasil sintesis antara teori pembelajaran reflektif klasik (seperti Dewey, Kolb, dan Mezirow) dengan falsafah pendidikan sistem Among Ki Hadjar Dewantara. Sintesis ini menggabungkan refleksi sebagai sarana pengembangan diri rasional dan moral, dengan prinsip “menuntun tumbuhnya budi pekerti” sebagai orientasi pendidikan yang humanistik. Dalam kerangka ini, VRP–3F tidak hanya mengusung konsep refleksi sebagai aktivitas kognitif, tetapi juga sebagai proses internalisasi nilai-moral yang menghidupkan empati, menumbuhkan kesadaran diri, dan menuntun pada tindakan kebajikan yang berakar pada nilai-nilai Pancasila.

Sintesis Teoretis: Reflective Pedagogy dalam Kerangka VRP–3F dan VRLM

Pendekatan Value–Reflective Pedagogy (VRP–3F) dan model operasionalnya Value–Reflective Learning Model (VRLM) dibangun atas dasar sintesis antara falsafah pendidikan sistem Among Ki Hadjar Dewantara dengan berbagai teori refleksi klasik Barat seperti yang dikembangkan oleh Kolb, Schön, Gibbs, dan Lickona. Sintesis ini melahirkan sebuah paradigma refleksi baru yang tidak hanya bersifat intelektual dan profesional, tetapi juga etis, afektif, dan humanistik.

Dalam pandangan Dewantara, pendidikan adalah proses menuntun tumbuhnya budi pekerti manusia secara utuh—cipta, rasa, dan karsa—melalui kasih sayang, keteladanan, dan kebebasan yang bertanggung jawab. Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan penuntunan spiritual dan kultural agar peserta didik mampu menemukan arah moral dalam kehidupannya. Berdasarkan asas tersebut, VRP–3F menghidupkan refleksi sebagai proses pemanusiaan, yang menumbuhkan kebajikan melalui keterpaduan antara kesadaran batin, pemikiran rasional, dan tindakan praksis.

Pendekatan ini kemudian mengembangkan konsep value–reflective pedagogy, yaitu refleksi yang tidak berhenti pada penalaran terhadap pengalaman, melainkan melibatkan penghayatan moral dan kepekaan empatik terhadap nilai-nilai kehidupan. Dalam konteks era digital, pendekatan ini menjadi semakin relevan: refleksi empatik membantu peserta didik memahami etika digital (digital ethics)—bagaimana berpikir, berinteraksi, dan bertindak secara bermoral di ruang virtual. Sejumlah penelitian terkini menunjukkan bahwa refleksi yang menggabungkan dimensi afektif dan moral digital dapat meningkatkan kesadaran etis serta tanggung jawab sosial dalam interaksi daring (Rachman et al., 2024; Wang et al., 2024). Berbagai model refleksi klasik telah memberikan landasan penting bagi praktik pembelajaran reflektif. Namun, sebagian besar masih menempatkan refleksi dalam ranah kognitif–profesional, bukan etis–afektif. Lima model berikut menjadi tonggak yang menginspirasi, sekaligus membentuk konteks sintesis bagi lahirnya pendekatan VRP–3F sebagai berikut.

1. Sistem Among Ki Hadjar Dewantara (1977)
Dewantara (1977) menekankan refleksi sebagai proses pembentukan budi pekerti melalui keteladanan, cinta kasih, dan kebebasan batin. Di sini refleksi tidak bersifat teknis, melainkan bagian dari perjalanan spiritual dan moral manusia dalam menumbuhkan nilai kemanusiaan.

2. Reflective Cycle Gibbs (1988)
Gibbs (1988) menawarkan struktur reflektif yang aplikatif—meliputi tahap description, feelings, evaluation, analysis, conclusion, dan action plan. Meskipun sistematis, model ini berfokus pada evaluasi pengalaman teknikal dan emosional tanpa menyertakan kerangka nilai yang eksplisit.

3. Experiential Learning Kolb (1984)
Kolb (1984) memahami refleksi sebagai jembatan antara pengalaman konkret dan pembentukan konsep melalui empat tahap: concrete experience, reflective observation, abstract conceptualization, dan active experimentation. Siklus ini memperkaya praktik belajar, tetapi masih menekankan aspek kognitif dan belum mengintegrasikan dimensi moral secara eksplisit.

4. Reflective Practitioner Schön (1983)
Schön (1983) memperkenalkan reflection-in-action dan reflection-on-action untuk meningkatkan profesionalisme praktisi. Namun, refleksi dalam model ini lebih diposisikan sebagai strategi berpikir untuk perbaikan teknis, bukan sebagai proses pembentukan kesadaran etis atau karakter moral.

5. Character Education Lickona (1991)
Lickona (1991 memperluas cakupan refleksi ke ranah moral melalui tiga dimensi—moral knowing, moral feeling, dan moral action. Pendekatan ini menjadi jembatan antara refleksi rasional dan dimensi afektif, namun belum menempatkan refleksi sebagai proses integral yang memadukan nilai, kesadaran, dan tindakan praksis secara spiral.

Hasil sintesis dari berbagai teori tersebut melahirkan pendekatan pendidikan berbasis nilai melalui refleksi (Value–Reflective Pedagogy / VRP–3F) yang memperluas cakrawala refleksi menjadi refleksi bermakna berbasis nilai (value-based reflection). Dalam kerangka ini, refleksi tidak hanya digunakan untuk memahami atau mengevaluasi tindakan, tetapi untuk menemukan, menafsirkan, dan mewujudkan nilai-nilai moral yang membentuk karakter peserta didik.

Melalui integrasi filosofi Among Dewantara dengan teori Reflective Cycle Gibbs, Experiential Learning Kolb, Reflective Practitioner Schön, dan Character Education Lickona, pendekatan VRP–3F menghadirkan suatu sintesis reflektif yang berakar pada nilai-nilai Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia, namun tetap relevan secara universal. Dengan demikian, VRP–3F dan model pembelajarannya (VRLM) berkontribusi dalam menghadirkan pendidikan reflektif–nilai yang memanusiakan, sekaligus menjadi jembatan antara tradisi pedagogi Timur yang humanistik dan teori refleksi Barat yang rasional-progresif.

Value–Reflective Learning Model (VRLM) dikembangkan sebagai bentuk operasional dari pendekatan VRP–3F, yang memfasilitasi penerapan pembelajaran nilai dan refleksi dalam konteks kelas secara sistematis. VRLM dirancang melalui tujuh tahap spiral reflektif–nilai, yaitu: (1) orientasi nilai, (2) eksplorasi realitas, (3) refleksi nilai, (4) konstruksi makna nilai, (5) apresiasi nilai, (6) aktualisasi nilai, dan (7) rekonstruksi nilai. Ketujuh tahap ini tidak berlangsung secara linier, melainkan spiral—terbuka terhadap pengulangan dan pendalaman sesuai konteks pembelajaran, karakter siswa, dan nilai yang dikaji. Pola spiral ini memungkinkan pembelajaran berlangsung secara hidup dan kontekstual, di mana setiap tahap mempertemukan tiga komponen utama VRP–3F: value feel (refleksi empatik–afektif), value find (refleksi rasional–kognitif), dan value flow (refleksi praksis–konatif).

Dalam implementasinya, guru berperan sebagai pamong reflektif, yakni fasilitator yang menuntun proses pembelajaran dengan keteladanan, dialog, dan pemaknaan pengalaman belajar secara humanistik. Sementara itu, siswa diposisikan sebagai subjek reflektif, bukan penerima nilai pasif, tetapi individu yang mengalami, menafsirkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila secara sadar, kritis, dan autentik dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ki Hadjar Dewantara (1977), pendidikan sejati merupakan tuntunan terhadap tumbuhnya budi pekerti manusia seutuhnya—pikiran, perasaan, dan kehendak. Dalam semangat ini, VRP–3F dan VRLM hadir sebagai model pedagogis nilai–reflektif yang berupaya menjembatani idealisme nilai-nilai Pancasila dengan praktik pembelajaran abad ke-21. Keduanya diharapkan menjadi kerangka teoretik sekaligus instrumen praksis bagi pembelajaran nilai-moral di sekolah dasar, khususnya dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila, untuk membentuk pelajar reflektif yang berkarakter, bernalar etis, dan berjiwa kemanusiaan.

Penulis: Dr. Mujtahidin, M.Pd.
Akademisi PPKn, Universitas Trunojoyo Madura, Indonesia
Founder of Musa Foundation
mujtahidin@trunojoyo.ac.id

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *